DPD Golkar Cium Bauh Tak Sedap Dari Tubuh Ditreskrimsus Polda Maluku
Ambon, cengekepala.com – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Maluku mencium bau tak sedap dari tubuh Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Maluku. Hal disampikan khusus melalui konferensi pers pada Minggu (6/5/2016) sore.
Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPD Golkar Maluku Ridwan Rahmah menyatakan, dalam penanganan kasus dugaan korupsi pada akhir – akhir ini sarat dengan konflik kepentingan sehingga dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan kewenangan.
Gelaran konfresni pers tersebut, Ridwan mewanti-wanti penegkkan hukum hanya diarahkan untuk membidik pihak – pihak tertentu sehingga terindikasi akan ada muatan politik.
“Kita tahu sendiri, apalagi ini tengah pentahapan Pemilu Gubernur dan Wagub Maluku,” ungkapnya.
Tindakan Polda melalui Diskrimsus menurutnya, merugikan pihak DPD partai berlambang pohon beringin itu.
“Salah satunya dugaan kasus SPPD Fiktif dan uang makan minum tahun 2017, yang melilit Bupati Buru Ramli Umasugi, yang merupakan ketua DPD Kabupaten Buru,” terangnya.
Dikatakan, patainya sebagai pengususng Bupati Ramlli Umasugi kami merasa dirugikan, apalagi melibatkan ketua DPD partai Golkar di Buru.
“Kami sudag barang tentu akan melindungi, sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku,” katanya.
Gamblang, Plt ketua DPD itu meerincikan, sejumlah kasus yang berkaitan erat dengan kepentingan partai Golkar.
“Semisal SPPD fiktif tahun 2011 di kabupaten Buru Selatan, Kasus air bersih yang melilit Kadis Pekerjaan Umum (PU) Ismail Usemahu dan Kasus Laporan dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan keuangan BUMD pemprov Maluku tahun anggaran 2017-2018,” jelasnya.
Kaitan erat, apalagi pihaknya memahami, ketua DPD Goolkar (Said Assagaf) tengah berkompetisi dengan mantan Wakapolda Maluku (Murad Ismail).
“Kita membutuhkan ada netralitas dari polisi,” tegasnya.
Sementara itu sebagaimana yang pernah diberitakan sebelumnya, pakar hukum tata Negara, Fahri Bachmid menilai, penegakan hukum yang dilakukan tim Tipikor Ditreskrimsus polda Maluku berpotensi merusak sistem hukum.
“Harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata adanya (actual loss) dalam TIPIKOR. Dalam pertimbangan MK bahwa pencantuman kata dapat selama ini dalam UU Tipikor membuat delik pasal UU Tipikor menjadi delik formil, padahal praktiknya sering disalahgunakan oleh aparat untuk menjangkau banyak penyelenggara negara yang membuat keputusan,kebijakan yang bersifat “freies ermessen”, dan berpotensi terjadinya kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang,” kata Fahri menjelaskan.
Dikatakan Fahri, hukum harus memenuhi prinsip hukum itu sendiri dan harus tertulis (lex scripta), dan hukum harus ditafsirkan berdasarkan yang dibaca dan tidak melahirkan multitafsir.
“Berangkat dari paradigma penegakan hukum Tipikor tersebut sebagaimana diatur dalam putusan MK, maka pihak kepolisian harus mempedomani itu secara baik.” Jelasnya.***(Rul)