Cengkepala

Khawatir Usik Kinerja Pers, Aktivis Maluku Diingatkan Harus Lebih Rasional

Ambon, Cengkepala.com- Ketua Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Sekretariat Wilayah (Setwil) Provinsi Maluku, Umar Wattiheluw angkat bicara perihal isu liar oleh sejumlah oknum Mahasiswa di kota Ambon.

Wattiheluw menilai, arogansi para mahasiswa itu terkesan membuat gaduh di dunia maya dan tak memiliki nilai educatif terhadap publik Maluku.

Tuduhan pemberitaan Hox dilayangkan kepada sejumlah oknum kepolisian di Polresta Pualu Ambon dan Pulau-Pulau Lease tekesan mengada-ada dan mencari sensasi semata. Apalagi akan berdampak langsung kepada Kredibilitas pekerja media. Dalam hal ini wartawan dan perusaha media itu sendiri.

Wattiheluw menyatakan, demonstrasi termasuk hak demokrasi yang idealnya bisa dilakukan secara damai, intelek, dan santun. Hanya saja hak ini biasanya diselewengkan oleh oknum-oknum tertentu untuk berbuat rusuh.

“Demonstrasi juga merupakan media pencerdasan atau pembodohan secara massif. Karena memang yang berperan dalam kegiatannya adalah massa yang berjumlah banyak, sehingga opini yang dimunculkan pun memiliki kekuatan massa,” akui Wattiheluw melalui pers rilis yang diterima cengkepala.com, Minggu (24/02).

Wattiheluw menilai sebagian aktivis di Maluku tidak memahami fungsi aksi, hak dan kewajibannya sebagai agen of control di tengah-tengah masyarakat.

“Hal ini dapat dilihat dengan gerakan masif yang dimainkan kelompok Mahasiswa yang melakukan aksi baru-baru ini,” akuinya.

Dikatakan, adalah benar jika mahasiswa turun jalan untuk melakukan protes terhadap sebuah problem ditemui, yang mana sebelumnya telah buntut jalan keluarnya melalui mediasi.

“Akan lebih salah lagi, jika turun aksi melanggar hak-hak warga negara lain apalagi melakukan kegadungan yang berefek besar, menggangu KAMTIBMAS” jelas Wattiheluw.

Wattiheluw mengakui, seorang mahasiwa yang pada akhirnya memilih jalan menjadi aktor dalam demonstrasi massa, artinya dia sendiri telah memilih menjadi seorang publik
figur.

Peran media dalam hal ini memberitakan/menyampaikan adanya aksi sudah barang tentu sebuah keharusan. Apalagi aksi tersebut untuk kepentingan orang banyak.

Nyatanya di Maluku, kota Ambon khususnya, akibat ketidak famahaman aktivis era ini, akhirnya menciptakan kegaduhan dengan sebaran ujaran kebencian menjadi sebuah kemirisan tersendiri.

“Alhasil ada yang menjadi korban fitnah, korban ban ujaran kebencian melalui media sosial,” akui Wattihelu.

Wattiheluw memberikan contoh dalam aksi para aktivis di lokasi gong perdamaain kota Ambon pekan kemarin.

Dirinya melihat, akibat dari arogansi para aktivis ini, mengakibatkan sejumlah pihak merasa dirugikan. Termasuk didalamnya sejumlah pekerja media dan perusahan pers di Maluku.

“Bertebaran dari grup ke grup media sosial sejumlah oknum aktivis menyatakan sikap lawan dengan tensi yang tidak wajar. Menyebar opini yang tidak mencerminkan seorang Mahasiswa. Ini berpotensi buruk tentunya,” papar dia.

Wattiheluw mengingatkan, aktivis yang telah memilih jalan demonstrasi kemudian menjadi aktor, harus tahu apa itu hak tolak, hak jawab dan hak koreksi sebagai publik figur.

Selain itu, berkembangnya tecnologi era ini, memaksakan para aktivis juga wajib memperlajari metode penulisan berita.

“Yang saya tangkap dalam berita kejadian tersebut di beberapa media online, rata-rata itu berita pantauan,” akui Wattiheluw.

Dilanjutkan, biasnya akan ada berita lanjutan atau nantinya akan ada penjelasan lainnya setelah berita pantauan dinaikan di media online.

“Mereka arogan dan langsung menuding. Wartawan di Maluku bisa terancam dengan sikap arogansi Mahasiswa seperti ini,” ulas Wattiheluw.

Padahal dalam aturannya jika mau mengikuti alur, mestinya menggunakan Hak Jawab. Hak jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Ada juga hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

“Implementasi hak tersebut, tertuang dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) UU pers, bahwa Pers wajib melayani hak jawab dan Pers juga wajib melayani hak tolak. Hak tolak ini juga diperkuat di pasal 4 ayat (4) yang menegaskan, bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum,” papar Wattiheluw.

Menutup keterangannya, dirinya menilai secara hemat, aktivis yang melakukan aksi pekan kemarin syarat akan kepentingan. Membentuk opini yang terkesan melancarkan ujaran kebencian terhadap oknum kepolsian.

“Saya sarankan laporkan jika ada indikasi kelalaian hukum. Jangan dengan mengiring opini publik untuk membeci Polri di Maluku. Harus lebih rasional dalam menyikapi ini,” tutupnnya.

Untuk diketahui, pernyataan Wattiheluw atas  kejadian aksi pekan kemarin di wilayah Gong Perdamaian oleh Mahasiswa yang mengatanamakan dirinya AMPERA. mereka juga melayangkan dengan menyebut media lokal di Ambon telah menyebar berita bohong terutama sumber beritanya dari Plores Ambon.  Padahal, sejumlah berita yang dipublis masih menggunakan asas praduga tak bersalah. Artinya tidak ada yang menuduh dan prosesnya masih terus ditindak lanjuti.

Sementara dalam opini-opini yang digiring oknum dalam kelompok tersebut bersikukuh bahwasnya, pihak kepolisian dalam hal ini Kasubbag Humas Polres telah memberikan keterangan yang salah. Kasubbag yang diketahui mantan Kapolsek Teluk Ambon itu dituding sebagai pelaku penyebar HOAX.***Rul

Views: 0