Cengkepala

MAHASISWA KKN SOMBONG DI LUHU LAMA

Luhu Lama terletak di tepi pantai. Ikan bertumpuk-tumpuk di laut. Akan tetapi, orang Luhu Lama menangkap ikan secukupnya saja untuk makan harian. Kalau toh ada kelebihan, mereka membuat ikan titip, yaitu ikan mentah diberi garam dan lada, lalu ditaruh di atas tungku kayu. Asap kayu bakar akan membuat ikan tersebut kering dan matang oleh asap.

(Catatan Rudi Fofid-Ambon)

CENGKEPALA.COM – Saman Mahu (Fakultas Pertanian), Samuel Pattinasarany (FKIP), Manan Lamany (Fakultas Ekonimi), La Kuli (FKIP), dan saya Rudi Fofid (Fakultas Pertanian) adalah lima sekawan. Kami satu kelompok mahasiswa KKN Universitas Pattimura gelombang II tahun 1989 di Dusun Luhu Lama, dekat Luhu-Kulur-Iha di Seram Barat.

Satu di antara kami punya riwayat maag aku, sebab itu kami membeli beras, untuk dia bisa makan bubur atau nasi lombo. Kami empat yang lain, pagi siang malam makan sangkola alias kasoami, alias suami. Jelaslah ini makanan orang Buton. Luhu Lama, seluruh penduduknya dari etnis Buton yang sudah menjadi orang Seram.

Setelah dua minggu di lokasi KKN, orang-orang Luhu Lama berterus-terang kepada kami. Sebenarnya, mereka menolak KKN masuk ke situ. Mereka membawa kecemasan dari dusun tetangga pada KKN angkatan dan gelombang sebelum kami. Waktu itu, mahasiswa KKN membawa beras dari kota dan memasak sendiri. Mereka tidak pernah makan di rumah penduduk. Sangkola, apalagi. Sebab itu, dusun tetangga menolak KKN. Kami adalah kelompok yang dialihkan dari dusun tetangga ke Luhu Lama.

“Katorang di sini terpaksa saja terima KKN sebab katorang curiga, KKN sekarang nanti seperti KKN yang lalu. Tidak mau makan katorang punya sangkola. Ternyata bapa-bapa KKN mau makan sangkola. Jadi katorang semua senang. Kecuali, bapa yang ini, jangan makan sangkola, nanti katorang semua susah,” kata Bapa Kepala Dusun.

November-Desember 1989 sampai Januari 1990, cuma tiga bulan. Kami mengerjakan beberapa program fisik dan non fisik. Misalnya, membuat jalan tanah sekitar 50 meter agar warga tidak lagi panjat tebing untuk naik ke `kampung atas’.
Kami juga menata pemukiman. Rumah yang letaknya saling acak, kami tata sedemikian, supaya ada lorong-lorong antara rumah. Kami menggaris sana-sini, hasilnya, tujuh rumah harus digusur. Sederhana saja, sebab rumah panggung itu tinggal kami potong tiang-tiangnya, lalu dipindahkan ke tempat yang pas.

Rumah kepala dusun lebih dramatis. Selain harus kami turunkan ke atas tanah, juga harus dibalik 180 derajat. Sebab, ketika denah kampung dibuat, dapur kepala dusun persis menghadap jalan. Maka kami mengangkat dan memutarnya supaya ruang tamu ada di depan.

Luhu Lama terletak di tepi pantai. Ikan bertumpuk-tumpuk di laut. Akan tetapi, orang Luhu Lama menangkap ikan secukupnya saja untuk makan harian. Kalau toh ada kelebihan, mereka membuat ikan titip, yaitu ikan mentah diberi garam dan lada, lalu ditaruh di atas tungku kayu. Asap kayu bakar akan membuat ikan tersebut kering dan matang oleh asap.

“Mengapa tidak bikin abon ikan?” Tanya saya kepada ibu-ibu di sana.

Ternyata, waktu itu, ibu-ibu di Luhu Lama tidak punya tradisi membuat abon. Maka kami pun mempraktikkan cara membuat abon ikan. Bayangkan ada 72 lelaki turun menangkap ikan, ada 72 ekor ikan besar, lantas ada 72 perempuan membuat 72 tungku kayu di halaman terbuka, lalu dari 72 kuali, jadilah abon ikan.
Hari itu, semua pesta abon ikan. Semua orang tersenyum saat makan abon ikan.

“Kalau mama-mama bisa bikin abon ikan model begini, katong jadi semangat tangkap ikan,” kata seorang bapak.

Kami juga menuntun ibu-ibu di Luhu Lama membuat mie basah. Mereka senang karena akhirnya mampu memproduksi mie sendiri, tanpa harus membeli di kota. Karena kami semua laki-laki, maka untuk beberapa ketrampilan perempuan, kami melibatkan rekan-rekan mahasiswi yang KKN di kampung tetangga.

Selain terlibat bersama masyarakat, kami juga mengajar di SMP Iha-Luhu. Saya membantu Pak Maman, mengajar matematika dan seni menulis. Kawan lain mengajar biologi, PMP. Ekonomi, dan olahraga.

Saat mengajar inilah, kami bisa berkenalan dengan beberapa siswa yang memang menonjol seperti Herry Warang, Rasyid Waliulu, Sahlan Helluth, Jais Sampolawa, Suhfi Madjid, Zhakiah Samal, dan sebagainya.

Saban Jumat, seusai shalat berjamaah di masjid, saya akan masuk ke dalam masjid dan menjalankan tugas sekretaris, mendampingi ketua kelompok Saman Mahu untuk memimpin rapat. Rapat pada hari Jumat adalah untuk persiapan kerja fisik pada hari Sabtu.

Setiap Jumat, setiap kepala keluarga menyumbang Rp1.000. Dengan demikian, setiap minggu akan terhimpun Rp72 ribu. Hanya dengan dana sebesar itu, kami bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan fisik. Kami tidak pernah membuat proposal untuk kembali ke kota mencari dana. Kami cukup dengan dana swadaya masyarakat. Toh, uang itu untuk beli kopi dan gula, terkadang tambahan beli paku dan tali rafia. Misalnya saat membuat dua unit kakus umum, semua bahan kami dapat dari bahan alam.

Satu pekan sebelum kami ditarik dari lokasi KKN, kami membuat papan nama jalan dan lorong, papan Sepuluh Program PKK, dan tugu selamat datang. Kali ini kami tidak libatkan tenaga penduduk, hanya Ustad Feisal Wakano yang kami minta tolong mengerjakan tugu selamat datang dengan ukiran dan lukisan.

Laporan KKN juga sudah kami selesaikan di lokasi KKN karena saya membawa mesin ketik ke kampung. Laporan lima rangkap itu sudah disertai tanda tangan dan stempel cap kepala dusun.

Drs Ahmad Payapo adalah instruktur KKN kami yang akrab kami sapa sebagai Abang Ci. Kami sayang Abang Ci dan sangat hormat padanya. Tiga kali mengunjungi kami, ia selalu membawa rokok. Itu rahasia, sebab ia tidak membagikan rokok ke kelompok KKN di kampung sebelah.

“Laporan kalian belum lengkap. Mana program pembuatan nama jalan, papan sepuluh program PKK dan tugu selamat datang?”‘ Tanya Abang Ci kepada Saman Mahu, ketua kelompok.

“‘Sengaja tidak kami masukkan dalam laporan, Abang Ci” Jawab Saman.

“Mengapa? Mestinya dilaporkan juga,” desak Abang Ci.

“‘Maaf Abang Ci. Sengaja tidak kita masukkan dalam laporan, sebab itu bukan kerja kami bersama masyarakat. Itu hanya kerja kami sendiri sambil menunggu waktu penarikan. Jadi, bukan program memang. Biar sajalah tak perlu ada dalam laporan, yang penting Abang Ci tahu saja,” kata saya dengan sedikit merayu.

“Beta punya anak KKN di di Luhu Lama ini paling sombong e. Orang lain bikin sebagai program inti, dorang bikin voor main-main,” cetus Abang Ci.

Kami semua tertawa, dan juga bikin kesepakatan bodoh-bodoh, bahwa baiklah sekali dalam hidup, kita pernah sombong di saat KKN, yang penting tidak bikin susah orang. Selanjutnya, jangan pernah sombong.

Usai tahun baru 1990, kami kembali ke Ambon. Sudah 30 tahun berlalu, saya belum pernah kembali ke Luhu Lama. Saya rindu berjumpa Margono, sahabat kecil saya yang suka menemani mandi laut. Dialah yang mengalungkan ular kufrek di leher saya. Usia Margono kini tentulah 35-36 tahun.

Saya juga harus mencari seorang perempuan berusia 29 tahun bernama Vanda. Waktu dia lahir, ayah-ibunya meminta saya memberi nama. Saya memilih nama Vanda, dari anggrek yang sangat banyak tumbuh di batu karang Luhu Lama.

“Vanda itu nama anggrek yang banyak tumbuh di atas batu karang di sini. Meskipun hanya makan debu dan minum embun, ia sanggup memberi pesona bunga,” kata saya mempertanggungjawabkan asal-usul nama itu.

Luhu Lama, sekolah, sangkola, abon, Vanda, dan segenap cerita adalah satu episode kecil di belakang sana, tetapi tetap berdenyut ke masa depan. Semoga tahun 2019, saya bisa kembali makan sangkola di rumah Margono atau rumah Vanda. Demikian sekelumit kenangan kecil di Luhu Lama. Selamat Tahun Baru, mai sangkola ancu!

Ambon, 2 Januari 2019

Artikel ini dimuat perdana di media online malukupost.com 

(Penulis adalah sastrwan, budayawan Maluku, serta Redaktur pelaksana Media Online Malukupost.com)

Views: 4