Miris Kondisi SD Maraina Negeri Atas Awan Seram Utara, Pemkab Malteng Tutup Mata
Masohi, cengkepala.com – Sekolah Dasar (SD) negeri Maraina, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah tampak miris dan tak terurus. Sekolah yang letaknya dibawah kaki Gunung Murkele tepatnya Negeri Maraina itu selain kodisi bangunannya menyat hati, juga tenaga pengajar yang memaksakan kita untuk makan hati. Kekurangan tenaga pengajar di sekolah ini memaksakan anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain di jam-jam produktif.
Kepada media ini, Rabu (07/06) Yosis Sentris Lilihata tokoh pemuda negeri Manusela menceritakan kondisi sekolah yang menurutnya jauh dari amanah Undang-undang serta konstitusi yang tertuang dalam lemabaran-lembaran negara.
“Bayangkan saja dari enam kelas hanya terdapat tiga guru PNS, yang terdiri dua guru bantu dan 1 Kepala Sekolah (Kepsek), belum lagi Kepsek yang sudah harus mengakhiri masa tugas karena pensiun pada tahun ini. Ini sangat memprihatinkan dari sisi tenaga Pengajar untuk sekolah-sekolah yang berada di pegunungan Seram Utara,” ungkap alumunus Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura itu.
Ini diakibatkan, lanjut dia, karena kondisi geografis yang menyebabkan guru enggan untuk ditempatkan disana.
“Kami mohon Pemda melalui dinas Pendidikan Malteng menempatkan guru yang memang berkomitmen tinggi untuk bertugas disana dan Pemda harus menyediakan dana ekstra untuk guru yang di tempatkan di Negeri diatas awan ini sebagai motivasi tersendiri,” cetusnya.
Perihal kondisi sekolah ini, menarik perhatian Forum Lingkar Pena (FLP) Maluku. FLP melalui ketua umum, Muhammad Nasir Pariusamahu meyatakan keperihatinannya dengan kondisi yang ada.
“Tentu kita sangat prihatin dengan keadaan tersebut. Pendidikan adalah urat nadi pembangunan dan kemajuan daerah. Tanpa pendidikan yang berkualitas, maka tertinggalah daerah itu. Senada dengan ini, benar kata Nelson Mandela bahwa pendidikan adalah senjata utama dalam membangun bangsa,” ungkapnya.
Dikatakan, Dalam hal ini, ada tiga hal yang saya ingin utarakan, sebagai kabupaten tertua sebenarnya masalah ini semestinya telah selesai. Tiga hal yang perlu dibenahi:
Pertama, soal akses.
Pemerintah daerah harus membuka akses jalan dan transportasi bagi daerah-daerah terisolir seperti itu. Sebab, tanpa akses yang baik, semua orang akan diam untuk bergerak. Guru yang mau bertugas di sana pun akan pikir dua kali. Padahal, kita tau, ada beberapa sekolah yang kelebihan guru. Tapi, mengapa mereka keberatan ketika mendapati tugas di daerah terisolir, itu karena soal akses.
Kedua, pemerintah daerah harus bisa menyeleksi relawan pendidikan, lewat dinas pendidikan, mereka dibiayai. Hal ini untuk sementara. Sambil pemerintah daerah menyiapkan guru lewat rekrutmen guru khas daerah. Mereka ini, semua tanggungan dibiayai oleh APBD, mulai dari kebutuhan primer yaitu rumah, gaji dan sebagainya.
Ketiga, perlu adanya mindset yang sama antara instansi pendidikan yang ada.
“Saya melihat, gerakan peduli pendidikan hanya digerakan oleh lembaga-lembaga sosial masyarakat. Para politisi, eksekutif terkesan pura-pura “terkejut” ketika mendengar info-info ini. Padahal ditangan merekalah palu kemajuan itu ada,” bebernya.
Olehnya itu, lanjut dia, Maluku Tengah butuh keseragaman pikir, khususnya dalam pendidikan. Bicara pendidikan ada tiga hal. Yaitu guru, sekolah dan anggaran. Maka, harus ada kesetaraan berfikir dalam mengelola hal itu. Maluku Tengah terlalu luas. Maka, di butuhkan kemampuan mengelola daerah dengan baik dan seimbang. Jangan sampai Maluku Tengah hanya bisa menjadi ibu tanpa mahkota.
“Perlu juga diingat, jangan dilupakan. Bahwa, Maluku Tengah terhitung dalam delapan Kabupaten di Provinsi Maluku ditetapkan sebagai daerah tertinggal melalui Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015 – 2019 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Perpres tersebut merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 6 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal,” ulasanya.
Menutup keterangan menanggapi kondisi sekolah di kaki gunung tersebut, Pariusamahu meneybut menekan masalah ini ada pada keseriusan pemerintah daerah.
“Masohi tidak boleh jadi kota mati. Indikator kawasan 3T harus dijawab secara cepat oleh pemerintah. Jangan tutup mata,” pungkasnya.*** (Rul)