Cengkepala

Pilkada Maluku 2018 Dalam “Cengkraman” Oligarki Kekuasaan

Cengkepala.com – Bawaslu RI sebagaimana dilansir Media Indonesia 28 November 2017, perna mengumumkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) untuk pemilihan kepala daerah tahun 2018 dengan menemukan tiga provinsi memiliki nilai kerawanan tinggi yaitu Papua, Kalimantan Barat dan Maluku. Maluku mendapat skor 3,25 dari skor kerawanan tinggi yaitu 3,00 hingga 5,00. Maluku berada di bawah Papuadengan indeks tertinggi yakni 3,42 dan diatas  Kalimantan Barat dengan indeks 3,04.

Nasaruddin Umar (Pemerhati Pilkada, Dosen Hukum Tata Negara IAIN Ambon)

Jika dikaitkan dengan dinamika pilkada serentak 2018 khususnya Pilkada Maluku mulai mengarah pada kostalasi yang menghangat, paling tidak dalam beberapa minggu terakhir media massa di hiasi pemberitaan hangat seputar pilkada Maluku mulai dari isu adanya kriminalisasi pasangan calon, indikasi tindak pidana pemilu oleh kontestan pilkada, indikasi lemahnya pengawasan pemilukada, politisasi agama dan etnis hingga dugaan keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ikut terlibat dalam politik praktis, dari berbagai wacana yang berkembang di public, ini mengidikasikan Pilkada Maluku 2018 mulai dalam ancaman. Jika ingin dipetakan lebih dalam lagi, public akan membaca bahwa munculnya berbagai kasus dugaan pelanggaran pilkada dan tindak pidana yang terjadi bisa mengkonfirmasikan  dimulainya manufer dan intrik politik dan strategi dalam memengaruhi dan merebut hati pemilih untuk memenangkan pilkada Maluku 2018.

Maka pertanyaanya adalah siapa yang sebetulnya pihak yang bisa diuntungkan dari berbagai manufer dan scenario politik terjadi yang dilakukan oleh oligarki kekuasaan atau dominasi kekuasaan oleh sekelompok atau segolongan elit atau golongan tertentu yang ingin “bermain” dalam Pilkada, apakah manufer yang ada telah dikategorikan terstruktur, terorgainisir dan massif dari pihak-pihak tertentu untuk memenangkan Pilkada secara tidak sehat dan tidak bermartabat. Seperti yang gambarkan oleh Jefrey A.Winters lewat bukunya Oligarcy maka praktik oligarki dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia masuk dalam kategori ruling oligarchy yakni para oligarki mampu menggunakan pengaruhnya untuk melakukan pemaksaan terhadap pemilik otoritas resmi dengan keuntungan kaum oligarkis, yaitu mempertahankan dan mengakumulasi kekayaan.  Apalagi dalam satu problem besar proses demokratisasi di Indonesia, khususnya di Maluku rakyat sebagai pemegang hak kedaulatan politik negara belum mampu bersikap secara mandiri, rasional, kritis ketika terlibat dalam proses politik, karena terhegemoni oleh sistem politik lokal dan sistem ekonomi kapitalis dan materialis sehingga tidak sedikit rakyat yang terjebat dalam ketergantungan berbagai kepentingan yang menyebabkan hak politiknya pun terpasung atau tergadaikan.

Membaca realitas di atas paling tidak ada 5 (lima) variabel yang bisa dijadikan indikator bagi public untuk membaca fenomena di atas apakah pilkada Maluku telah masuk dalam cengkraman oligarki kekuasaan, yang Pertama ketiga kontestan Pilkada Gubernur Maluku 2018 memang diisi oleh 3 (tiga) pasangan yang memiliki latar belakang perna memegang “kekuasaan”di Republik ini, Paslo 1 Said Assagaff-Anderias Rentanubun “Tulus” adalah Gubernur  Maluku Periode 2014-2018 dan pasangannya merupakan Bupati Maluku Tenggara 2 (dua) periode 2008-2013 dan 2014-2018 dan diusung oleh partai besar yakni Partai Golkar sebagai partai pendukung pemerintah, dan PKS dan Demokrat.

Paslon nomor urut 2 yaitu Murad Ismail-Barnabas Orno (Baileo) adalah mantan Kepala Brimob Polri dan pasangannya merupakan Bupati Maluku Barat Daya yang diusung partai besar seperti PDI-Perjuangan merupakan pasangan urut 3 Herman Adrian Koedoeboen- Abdullah Vanath (Hebat) dimana Herman Adrian Koedoeboen perna menjabat Insvektur IV pada Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung RI  tahun 2016 dan perna menjadi Bupati Maluku tenggara Periode 2003-2008 dan pasangannya perna menjadi Bupati Seram Bagian Timur periode 2005-2010  dan periode 2010-2015 dengan jargon “Hebat” yang maju melalui calon perseorangan.  Dari latar belakang jabatan ketiga paslon tersebut masih memungkinkan ketiganya memanfaatkan pengaruh dari kekuasaan yang perna mereka miliki untuk memenangkan pilkada Maluku, meskipun public juga harus berpikir positif bahwa ketiganya akan menjaga prinsip pilkada yang jujur, adil dan demokratis dalam mewujudkan pilakada Maluku 2018 yang berkualitas dan berbartabat.

Kedua, Apakah penyelenggara pemilu (KPUD-Bawaslu) beserta jajarannya hingga ke tingkat paling bawah, termasuk TNI dan Polri dan Aparatur Sipil Negara (ASN), dan aparatur daerah pemerintahan provinsi, kabupate/kota hingga kepala desa/raja dengan aparatur desanya, sejauh ini masih menenjukkan dirinya secara netral dalam pemilukada Maluku 2018,  sebagaimana diatur ketentuan Pasal 71 Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang PILKADA bahwa pejabat negara, pejabat daerah, anggota TNI, Polri dan kepala desa atas sebutan lain dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Jika  masih ada oknum yang “bermain mata” dengan salah satu paslon (pasangan calon) sejak awal hingga akhir nantinya akan mempengaruhi kualitas dan integritas pilkada Maluku,  bahkan bisa saja dianggap pilkada Maluku 2018  “selesai” maka kepada siapa paslon yang mereka dukung jika dilakukan secara terorganisir, terstruktur dan masif maka dialah yang akan memenangkan pilkada Maluku 2018.

Kekhawatiran ini cukup beralasan sebab  data dari Badan Pengawas Pemilu tanggal 8 April 2018 yang dilansir media Tempo.co tanggal 13 Maret 2018 lalu cukup mengindikasikan karena terdapat 184 laporan terkait pelaggaran dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah 2018 dan mayoritas dugaan pelanggaran yang masuk ke Bawaslu adalah keterlibatan aparatur sipil negara atau ASN dalam pelaksanaan kampanye bupati, wali kota maupun gubernur disejumlah wilayah di Indonesia, Bawaslu menemukan paling tidak ada 425 pelanggaran kampanye yang melibatkan ASN, Polisi hingga TNI, di 76 kabupaten/kota di Pilkada 2018, dan keterlibatan ASN digerakkan calon inkumben maupun diluar inkumben, Bawaslu menemukan keterlibatan ASN dalam memobilisasi massa, ikut dalam kampanye terselubung sampai mengikuti rapat pemenangan pemilu. KPUD, Bawaslu, TNI-Polri dan ASN merupakan pilar utama dan jiwanya pemilukada yang bersih dan berkualitas.

Jika ketiganya terseret atau melibatkan diri dalam politik praktis maka pilkada dalam ancaman besar. Secara UU Organik institusi negara tersebut telah diatur kewajiban netralitas dalam kegiatan politik praktis, seperti ketentuan Pasal 2 huruf f UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, bahwa penyelenggara kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan pada asas “netralitas” bahwa setiap pegawaii ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak berpihak kepada kepentingan siapapun.

Tuntutan netralitas polri juga telah diatur dalam Pasal 28 UUNo.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Indonesia dan Peraturan Kapolri tentang Kode etik profesi Kepolisian RI yang menegaskan kewajiban dan larangan anggota polri terlibat dalam kehidupan politik. Dan bagi TNI juga telah diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU TNI meyebutkan bahwa “Prajurit dilarang terlibat Kegiatan politik praktis.  Sedangkan bagi penyelenggara pemilu seperti KPU, perubahan ketiga UUD 1945, Pasal 22E ayat 5 menyebutkan bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan oleh komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.

Sifat “mandiri” dalam ketentuan tersebut menegaskan bahwa KPU harus bebas dari segala pengaruh dan tekanan dari pihak manapun dan “imparsial” seimbang tidak berat sebelah kepada calon tertentu yang ikut dalam kontekstasi pemilukada atau pemilukada. Hal tersebut menyiratkan bahwa penyelenggara pemilu KPUD dan semua jajarannya hingga ketingkat TPS, Bawaslu hingga pengawas kecamatan tidak boleh tunduk pada kepentingan orang-perorang, kelompok, dan partai politik tertentu. Sifat kemandirian juga biasa disebut indevenden indevendensi pemilukada melekat pada kelembagaan maupun fungsi yang dijalankan, hal ini diperlukan agar tidak mengurangi kemampuan penyelenggara pemilu yang yang bermartabat, luber dan jurdil. Oleh karenanya netralitas penyelenggara pemilu, TNI-Polri, ASN dan aparatur pemerintahan, merupakan variabel utama yang paling menentukan Pilkada Maluku 2018 yang berkualitas dan bermartabat.

Ketiga, Apakah penyelenggara pemilu betul-betul professional dalam menyelenggarakan pemilukada atau tidak, profesionalitas secara kelembagaan maupun fungsi yang dijalankan. Secara kelembagaan profesionalitas ditujukkan dalam mempertahankan posisi kelembagaannya sesuai tugas dan fungsi yang dimiliki, apakah telah dilakukan dilakukan dengan baik kepada masyarakat. Apakah pendataan data pemilih telah dilakukan dengan obyektif, apakah sosialisasi pemilih sudah sampai hingga dilapisan masyarakat terkecil di tingkat RT/RW, sampai pada komunitas terbawah (petani/nelayan) komunitas terpinggirkan seperti tukang becak, kaum buruh pekerja, apakah pengawas pilkada telah melakukan upaya pencegahan dan penindakan pelanggaran pilkada secara tegas dan obyektif, indicator ini juga menentukan integritas dan kualitas pilkada Maluku 2018.

Keempat, Apakah kontekstan pilkada atau pasangan calon kepala daerah dan partai politik pengusung dapat bersain secara sehat dan demokratis. Paslon juga memiliki peran dalam mewujudkan pilkada yang berkualitas sebab kualitas dan kejelasan visi, misi dan program paslon akan menjadi ukuran bagi masyarakat pemilih untuk menjatuhkan pilihan secara kritis paslon mana yang memiliki janji-janji kampanye yang cerdas dan rasional. Namun jika paslon melakukan negatif campaign dan black campaign dan money politic dalam mendapat dukungan rakyat maka kualitas pilkada kita tentu amatlah rendah

Kelima, Sejauhmana tingkat partisipasi dan angka pemilih yang kritis pada pemilukada 2018, semakin tinggi partisipasi pemilih dan angka pemilih kritis akan semakin tinggi pula kualitas dan martabat pemilukada kita. Jika partisipasi pemilih meningkat maka legitimasi masyarakat kepada pemimpinnya  akan memperkuat pemerintahan. Ketika ruang artikulasi dan partisipasi politik sangat terbuka lebar dalam pemilukada saat ini tidak disertai dengan pemahaman dan cara bertindak yang sehat dan rasional bagi rakyat pemilih maka yang muncul adalah pragmatism masyakat Maluku akan mudah dipengaruhi  dan dimainkan oleh kekuatan oligarki dari berbagai macam pemegang otoritas, seperti birokrasi (trias politica yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif), partai politik, pemodal/penguasa (kapitalisme), primordialisme (agama, suku dan etnis) dan kekuatan penguasa negara 

Oleh karena itu, pertarungannya akan ditentukan oleh netralitas dan profesionalisme oleh 5 pilar demokrasi yakni penyelenggara pemilukada, para kontekstan paslon dan partai politik, aparatur negara (ASN,TNI/Polri) aparatur daerah dan desa serta media massa dan masyarakat. Apabila ke-lima elemen pilar-pilar demokrasi ini menempatkan posisi masing-masing dengan baik, netral, kritis dan professional dan maka Pilakada Maluku 2018 akan terhindar dari ancaman oligarki kekuasaan. Jika tidak pilkada yang seharusnya menjadi pesta demokrasi rakyat dalam menyalurkan hak politik kewarganegaraanya bisa tercederai bahkan tergadaikan oleh ambisi kekuasaan yang tidak bertanggung jawab.

Jangan sampai pilkada Maluku dimainkan oleh para oligarki untuk kepentingan ekonomi kapitalis dan kepentingan star politik pilpres 2019 dan masyarakat Maluku tidak mendapat apa-apa selain kesia-siaan tanpa adanya pembelajaran dan pendidikan politik bagi masyarakat Maluku dalam semain mapan dalam berdemokrasi.***  Nasaruddin Umar

(Isi artikel ini diluar tanggung jawab redaksi)

Views: 0