Potensi Merusak Sistim, Penanganan Hukum di Polda Maluku Rancu

Ambon, Cengekapal.com – Pakar hukum Maluku, Fahri Bachmid menilai penanganan hukum dalam masalah Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dilakukan oleh Ditreskrimsus Polda Maluku akhir-akhir ini yang tidak biasa.
Hal itu terlihat dengan adanya penggunaan Undang-Udang (UU) RI No.20 Tahun 2001 terkait penerapan unsur merugikan keuangan negara. Dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan Tipikor, Diakrimsus Polda Maluku menggunakan UU yang lama yang mana sudah dirubah maknanya oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak bisa dipahami sebagai perkiraan semata (petential loss).
“Harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata adanya (actual loss) dalam TIPIKOR. Dalam pertimbangan MK bahwa pencantuman kata “dapat” selama ini dalam UU Tipikor membuat delik pasal UU Tipikor menjadi delik formil, padahal praktiknya sering disalahgunakan oleh aparat untuk menjangkau banyak penyelenggara negara yang membuat keputusan,kebijakan yang bersifat “freies ermessen”, dan berpotensi terjadinya kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang,” kata Fahri melalui rilisnya, Sabtu (05/2).
Dikatakan Fahri, hukum harus memenuhi prinsip hukum itu sendiri dan harus tertulis (lex scripta), dan hukum harus ditafsirkan berdasarkan yang dibaca dan tidak melahirkan multitafsir.
“Berangkat dari paradigma penegakan hukum Tipikor tersebut sebagaimana diatur dalam putusan MK, maka pihak kepolisian harus mempedomani itu secara baik.” Jelasnya.
Artinya, sambung Fahri, tidak lagi bisa melakukan proses penyelidikan dan penyidikan secara konvensional, sebagaimana selama ini dilakukan tanpa adanya temuan kerugian keuangan negara secara nyata, dan riil berdasarkan rekomendasi BPK sesuai UU BPK dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4 Tahun 2016 yang menegaskan bahwa “instansi yang berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK yang memiliki kewenangan Konstitusional, bukan kepolisian.
“Maka aparat penegak hukum tidak bisa melakukan Penyelidikan tanpa terlebih dahulu telah dapat dipastikan secara jelas dan tegas adanya kerugian keuangan negara secara jelas,” tegas Fahri.
Lanjut Fahri, pihak kepolisian bukanlah lembaga auditor yang dapat menentukan tidaknya kerugian keuangan negara, dan berwenang melakukan perhitungan kerugian keuangan negara, karena hal itu adalah tugas BPK.
Tak hanya itu, aksi masuk dan melakukan pemeriksaan dalam kantor Sekretaris Pemda Buru Selatan yang burujung pada pengambilan dokumen tertentu sangat tidak tepat dan melanggar hukum.
“Bahwa mencermati berbagai tindakan penyitaan dokumen, pengeledahan serta berbagai tindakan polisionil lainya dalam sebuah kegiatan penyelidikan Ditreskrimsus Polda Maluku dilakukan tanpa menggunakan izin Ketua Pengadilan Negeri/Tipikor diambon sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 32 dan 33 ayat (1) UU RI No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, yang menyebutkan setiap tindakan pengeledahan harus dengan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, tetapi harus dalam konteks penyidikan, dan bukan penyelidikan begitupun dengan tindakan menyita sejumlah dokumen dari kantor Pemda Buru, itupun harus dalam konteks penyidikan dan bukan dalam rangka penyelidikan seperti saat ini,” ucapnya.
Pasalnya, aturan-aturan itu sudah diatur dalam ketentuan pasal 38 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri, dan kalau berdasarkan fakta bahwa penyitaan dan penggeledahan dilakukan dalam suatu kegiatan penyelidikan oleh Ditreskrimsus Polda Maluku, maka hal tersebut berpotensi melawan hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalm UU RI No.39 tahun 1999 tentang HAM dan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi melalui UU RI No.7 tahun 2006.
“Bahwa secara prinsip segala tindakan aparat penegak hukum harus berpedoman kepada kaidah-kaidah hukum publik sebagaimana diatur dalam KUHAP, dengan maksud semata-mata untuk menjamin dan menghormati hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan didalam konstitusi (UUD NRI Tahun 1945),kerena itulah hakikat berhukum kita sebagai sebuah negara hukum,” imbuhnya.
Fahri Bachmid mengakui, dirinya dan seluruh masyarakat Maluku sangat mendukung pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, tetapi jangan sampai penegakan hukum diorientasikan serta diarahkan untuk membidik pihak-pihak tertentu dengan maksud tertentu pula, sehingga menjadi bias politis serta mempunyai implikasi yang cukup serius dan kontra produktif terhadap proses demokratisasi itu sendiri.
“Kalau itu yang terjadi maka itu merupakan sebuah kecelakaan hukum tidak boleh digunakan sebagai alat destruktif untuk menggerogoti tatanan kehidupan, serta keteraturan sosial. Hukum harus menciptakan ketertiban,dan bukan keributan serta kegaduhan sosial. Kami tegas melawan jika hukum digunakan sebagai alat untuk melakukan operasi politik untuk suatu tujuan spesifik,dan kami senantiasa akan mencermati secara seksama setiap upaya pemberantasan korupsi yang saat ini dilakukan oleh Ditreskrimsus Polda Maluku,” tambahnya.
“Kami berharap sungguh semoga dilakukan sesuai tujuan hukum itu sendiri, dan bukan untuk tujuan lain. Ini penting untuk dipahami semua pihak,termasuk Kapolda Maluku apalagi Ditreskrimsus Polda Maluku secara sporadis dan demonstratif telah melakukan beberapa langkah yang cukup eksentrik, walaupun dalam tahap penyelidikan melakukan manuver hukum dengan memeriksa berbagai pihak ditahun dan momentum politik Pilgub Maluku saat ini, sehingga publik tentu bertanya ada apa gerangan. Tetapi kami masih berbaik sangka,bahwa Ditreskrimsus Polda Maluku melakukan penegakan hukum sesui jiwa dan tujuan hukum itu sendiri dan bukan maksud lain,” lanjut Fahri.
Praktisi hukum yang sedang menempuh pendidikan doktoral ini mengingatkan jika Malaku akan melakukan pencoblosan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku pada 27 Juni 2018. Dan salah satu tugas besar Kapolda Maluku adalah memastikan stabilitas keamanan dan politik diwilayah ini.** ( Redks-CP | Editor : Edal Namakule-Liputan.co.id)