Tiadakan Saja Hardiknas
Cengkepala.com – Telah lumrah jika para siswa dan guru patut merayakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), tidak terpisahkan oleh setiap anak bangsa turut pula memperingati momen tersebut. Membagi-bagikan bunga, makan bersama, ataupun dengan cara lainnya adalah tindakan reflektif dengan tujuan membangkitkan semangat pendidikan bangsa. Namun perayaan ini kiranya sudah berlebihan untuk konteks sekarang, sebab banyak hal terkait dengan pendidikan yang sudah terjadi di bangsa ini tidak relevan lagi dengan spirit latar belakang Hardiknas tersebut. Agar tidak terlampau jauh ke tubir perayaan semu bereksistensi nista, baiknya kita perlu merenungi siapa dalang, bagaimana lakonnya, dan efek yang melahirkan Hardiknas masih pantas kah diperingati di era keblinger ini?
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat
Sosok Nasionalis seorang penyayang yang mandiri dan pantang menyerah, resmi melepaskan gelar kebangsawanan beserta namanya menjadi Ki Hadjar Dewantoro pada usia 40 tahun, tidak lain agar lebih merakyat dalam merespon prahara penjajahan terhadap setiap anak bangsa kala itu. Semenjak kembali dari pengasingannya di Belanda, bersama Surjokusumo, Pronowidgdo, Sujoputro, dan lainnya mendirikan National Onderwijs-Instituut Taman Siswa atau Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta. Inilah embrio pertama kali sepak terjang seorang Soewardi hingga dianugerahi bintang Mahaputra dan sampai akhir hari hayatnya 2 Mei 1959 ditetapkan sebagi Hari Pendidikan Nasional sesuai dengan Kepres RI No. 305 tanggal 28 November di tahun yang sama. Niat luhur Ki Hajar Dewantara dan berbagai penggalan kehidupannya sebagai cerminan konsep pendidikan pada era pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, akan lebih kita kenal dan pahami dari keaktifan Taman Siswa sebagai pengejewantahan beliau. Seiring dengan simultannya sejarah dan kekuasaan, Taman Siswa semakin tersisihkan bahkan sudah tereliminir dari kancah pendidikan Indonesia. Menyimak realitas Taman Siswa, Sebagaimana Michel Foucault dalam Listiyono Santoso (2009) mengatakan bahwa setiap masa (epoch) sejarah mempunyai “sistem pemikiran” yang menentukan bagaimana pengetahuan dapat dipraktikan pada masa tersebut, begitupun ajaran dan spirit Ki Hajar Dewantara mungkinkah sudah tidak selaras lagi dengan wajah pendidikan Indonesia saat ini
Seputar Konsepsi Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Sistem Among yang dilaksanakan dengan rumus trilogi (Ing Ngarsa Sungtulada, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani) pendidikannya ala Ki Hajar yang sudah familiar bagi kita untuk menjelaskan maksud dari trilogi tersebut, meskipun sulit bagi kita untuk mempraktekan dalam keseharian hidup. Selain itu, konsep trilogi yang lain yakni Tri Pantangan (pantang harta, praja, dan wanita) dan konsep Tri Rahayu (mewayu hayuning sarira, mewayu hayuning bangsa, dan mawayu hayuning bawana), kesemuanya tidak lain untuk membentuk nurani secara holistik. Memang konsep yang terlahir dari Ki Hajar pada waktu itu merupakan luapan semangat yang luar biasa dalam merespon kolonialisme yang terus membudayakan pembodohan bagi bumi putra, namun apabila kita telaah lebih jauh ternyata apa yang diperlihatkan oleh Ki Hajar pada kesempatannya pun masih pantas dan memang harus dilakoni oleh setiap anak bangsa saat ini di era globalisasi yang tidak mampu dibendung.
Menyinggung lebih jauh tentang strategi belajar mengajar, terdapat sedikit kesesuaian dari apa yang pelopori oleh ki Hajar dalam julukan Pamongnya dengan pendekatan konstruktivisme dan teori belajar humanis. Ki Hajar Dewantara mengembangkan kegiatan belajar mengajar melalui sifat kodrati anak dalam naluri Kinder Spellen (permainan anak). Ia sering menganjurkan para Pamong untuk belajar sambil bermain. Misalnya pelajaran ilmu Bumi (geografi) dengan menggambar peta pada tanah/pasir dan menandai kota-kota dengan batu, dst. Selanjutnya, dengan metode kinder spellens Secara berkelompok dapat mendidik interaksi sosial kepada peserta didik (Suparto Rahardjo, 2009).
Apabila kita merujuk ke pada pendefinisian konstruktivistik dalam pendekatan pendidikan dari beberapa pakar pendidikan, diantaranya Paul Suparno (2009) dalam K Esomar (2011) mendefenisikan konstruktivisme adalah satu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi atau bentukan diri kita sendiri. Wenno I H (2008) mangatakan konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan kontekstual. Jadi, dengan kata lain kita akan memiliki pengetahuan apabila kita terlibat aktif dalam proses penemuan pengetahuan dan pembentukannya dalam diri kita. Meskipun kita tidak mendapati suatu Desain Sistem Pembelajaran (DSP) Konstruktivistik yang sepadan dengan Model DSP pengembangan sekarang dari Ki Hajar, namun dalam praktek pengajarannya Ki Hajar begitu menghargai pentingnya dan menerima pemikiran apapun adanya dari peserta didik sambil menunjukan apakah pemikiran itu jalan atau tidak.
Adapun sistem Among dilaksanakan dalam Tut Wuri Handayani, ketika kita dapat “menemu-kenali” anak, bila perlu perilaku anak boleh dikoreksi (Handayani) namun tetap dilaksanakan dengan kasih sayang. Menurut Ki Hajar, “Anak hrus tumbuh menurut kodrat (natuurlijke grui) yang diperlukan untuk segala kemajuan (evolutie) dan harus dimerdekakan seluas-luasnya (Suparto Rahardjo, 2009). Dapat kita golongkan cara ini sebagai metode mengajar yang identik dengan maksud dan spirit dari metode pembelajaran penemuan (discovery learning).
Taman Siswa di Era Globalisasi
Profesionalisme yang diharapkan dari Ki Hajar pada Guru-guru di dalam Taman Siswa yang termaktub dalam asas Taman Siswa, dapat kita hayati diantaranya percaya pada kekuatan sendiri dan membelanjai diri sendiri. Selain itu, fatwa-fatwa Ki Hajar yang dapat kita jadikan pegangan dalam menjalankan tugas sebagai seorang guru adalah Tetep-Mantep-Antep, maksudnya dalam menjalankan tugas kita harus berketetapan hati, tekun bekerja tidak boleh kekanan dan ke kiri. Selalu mantep, tidak boleh ada sesuatu yang dapat membelokan aliran kita selanjutnya kita akan antep, berat berisi (bernas) dan berharga. Jadi, penanaman nurani konsistensi terhadap pengabdian seorang pengajar di Taman Siswa benar-benar dipelihara.
Sementara berbagai problematika pendidikan yang melanda Bangsa demikian akut di era globalisasi ini, meminjam perkataan Rahabav bahwa globalisasi mempercepat perubahan referensi nilai. Pola hidup masyarakat akan berpotensi semakin konsumtif, pesimis, dan hedonistik. Menyinggung berbagai Krisis yang melanda guru, Rahabav (2011) menuturkan setidaknya ada 3 krisis yang mendera guru kita saat ini, yakni: 1) Krisis Finansial, 2) Krisis Intelektual, dan 3) Krisis keteladanan. Hal ini menunjukan betapa semangat luhur yang melatarbelakangi Hardiknas sangat signifikan dengan realitas sekarang, bukan saja pada guru, simak saja regulasi-regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah, kesemuanya itu seolah menelanjangi tanggung jawab pemerintah. Adanya fenomena ingin dapat gaji besar oleh guru, justeru mendistorsi nilai profesionalisnya. Benarkah jika modal pendidikan 20% yang selalu dilupakan dan gaji guru yang besar akan menaikan kualitas pendidikan serta ukuran sebuah profesionalitas?
Sehingga untuk memperingati Hardiknas, kita seperti tidak punya rasa malu pada Bapak Pendidikan bangsa ini. Sebenarnya jika kita renungkan perjalanan Beliau, seorang Ki Hajar pun ketika mangkat, tidak ingin diberi pangkat (embel-embel penghargaan). Mengingat beliau sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, merupakan sosok yang tidak doyan dengan gelar dan konsisten dengan yang dilakoninya. Dengan demikian, baiknya tiadakan saja Hardiknas, sebab nilai-nilai ajaran Ki Hadjar sendiri masih kita praktikan setengah hati, bahkan mungkin tidak sama sekali.**
Tentang Penulis : Arman Kalean