Cengkepala

Implementasi Kampus Berdampak: Sejauh Mana Dampak dari Sebuah Gagasan ?

Oleh: Ahmad Rosandi Sakir, S.I.P., M.A.P. (Dosen Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIP UNPATTI)

“Kampus tidak boleh hanya menjadi menara gading, tetapi harus menjadi mercusuar perubahan.” Kalimat itu sering kita dengar di berbagai forum akademik, namun pertanyaannya: sejauh mana gagasan itu benar-benar diwujudkan? Program “Kampus Berdampak” yang diluncurkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai kelanjutan dari inisiatif Kampus Merdeka sebenarnya membawa semangat besar agar perguruan tinggi tidak hanya mendidik, tetapi juga menebar manfaat nyata bagi masyarakat.

Namun, setelah dua tahun berjalan, kita patut bertanya: apakah gagasan ini benar-benar berdampak, atau sekadar menjadi jargon administratif baru?

Antara Idealisme dan Realitas Lapangan

Secara normatif, dasar hukum program ini cukup kuat. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa perguruan tinggi memiliki fungsi “mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora untuk kemaslahatan bangsa.” Dengan demikian, konsep “kampus berdampak” bukan sekadar inovasi baru, tetapi mandat konstitusional.

Sayangnya, di lapangan, banyak kampus masih berhenti pada tataran simbolik. Label “berdampak” sering kali hanya menempel pada laporan kegiatan, bukan pada perubahan sosial nyata. Mahasiswa memang dikirim ke desa, dosen memang menulis laporan pengabdian, namun dampak keberlanjutan terhadap masyarakat penerima masih minim. Banyak kegiatan berhenti saat dana hibah berakhir, tanpa tindak lanjut atau penguatan kelembagaan lokal.

Kampus Sebagai Agen Transformasi Sosial

Padahal, gagasan awal “Kampus Berdampak” sangat revolusioner: menghadirkan kampus di tengah masyarakat, menjembatani kesenjangan antara dunia akademik dan realitas sosial. Kementerian bahkan menegaskan bahwa perguruan tinggi harus menjadi simpul inovasi sosial dan ekonomi daerah.

Beberapa universitas mulai menunjukkan praktik baik. Misalnya, Universitas Negeri Semarang mengembangkan program inovasi energi bersih di desa pesisir, dan Universitas Hasanuddin membangun sistem pangan lokal berbasis riset mahasiswa. Inilah contoh nyata bagaimana kampus tidak hanya meneliti masyarakat, tapi hidup bersama masyarakat.

Namun, pertanyaan “sejauh mana dampak gagasan ini?” tetap relevan. Sebab, belum ada mekanisme evaluasi yang terukur dan berkelanjutan. Apakah kampus berdampak hanya dilihat dari jumlah kegiatan pengabdian? Dari sertifikat mitra? Atau dari perubahan indikator sosial ekonomi masyarakat sasaran? Tanpa indikator yang jelas, “dampak” akan selalu menjadi istilah elastis yang mudah diklaim tapi sulit dibuktikan.

Tantangan Implementasi: Birokrasi dan Budaya Akademik

Kelemahan lain adalah soal birokrasi. Banyak program berdampak yang terhambat karena mekanisme pendanaan yang kaku dan berlapis. Dosen dan mahasiswa sering terbebani laporan administratif dibanding proses pemberdayaan di lapangan. Akibatnya, kegiatan lapangan kehilangan kedalaman sosial, berubah menjadi formalitas tri dharma.

Selain itu, budaya akademik kita belum sepenuhnya menghargai kerja sosial sebagai bentuk riset yang sahih. Pengabdian masyarakat masih dianggap pelengkap, bukan bagian dari inovasi akademik. Padahal, di banyak negara maju, proyek sosial berbasis riset justru menjadi ruang utama untuk menghasilkan inovasi.

Saran Konstruktif: Dari Gagasan ke Gerakan

Agar “kampus berdampak” tidak menjadi jargon musiman, perlu langkah serius dan terukur. Pertama, Kemendikbudristek perlu menyusun indikator dampak sosial yang terstandar untuk seluruh perguruan tinggi. Dampak harus diukur bukan dari jumlah kegiatan, melainkan dari perubahan kapasitas masyarakat, keberlanjutan usaha, dan adopsi inovasi lokal.

Kedua, perlu perubahan paradigma dalam akreditasi dan penilaian kinerja dosen. Sistem penilaian yang terlalu menitikberatkan pada publikasi ilmiah internasional perlu dilengkapi dengan bobot untuk karya sosial berdampak nyata. Regulasi turunan dari Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi dapat diperluas untuk mengakomodasi pengakuan terhadap “output sosial”.

Ketiga, perlu kolaborasi lintas aktor. Dunia usaha, pemerintah daerah, dan lembaga masyarakat sipil harus menjadi bagian dari ekosistem kampus berdampak. Kampus bukan pemain tunggal, melainkan katalis yang menyatukan banyak kekuatan.

Keempat, penguatan kapasitas mahasiswa sebagai agen perubahan sosial harus menjadi prioritas. Mereka perlu dilatih bukan hanya berpikir kritis, tetapi juga berempati dan beraksi di dunia nyata.

Penutup

Gagasan besar hanya akan bermakna jika melahirkan perubahan nyata.”
Kampus berdampak adalah ide mulia — tetapi jika tidak diikuti dengan komitmen, pengukuran, dan keberlanjutan, ia akan lenyap seperti jargon reformasi akademik sebelumnya.

Kita membutuhkan kampus yang tidak hanya melahirkan sarjana, tetapi juga pembaharu sosial. Kampus yang tidak hanya berbicara tentang perubahan, tetapi menjadi bagian dari perubahan itu sendiri.

Itulah makna sejati dari “kampus berdampak” bukan sekadar gagasan, melainkan gerakan.

Views: 282