Cengkepala

Jatah PNS Bagi Putera Daerah Maluku, Suatu Refleksi

Realitas kekinian harus dijalani dengan penuh optimis, bukan pesimis dan terus menyalahkan menggunakan cara pandang yang parsial.

Oleh : Rahmathia Oat*

Opini, Cengkepala.com – Penyelenggaraan seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) menggunakan sistem online dengan tetap memprioritaskan putera daerah, hanya tersedia bagi putera daerah Papua. Secara jelas tertulis formasi khusus untuk putera-puteri Papua, selain cumlaude, disabilitas, dan sekarang ditambah dengan kategori diaspora. Memang sudah sejak tahun 2015, Papua mulai terlihat menggaungkan keberpihakan bagi putera daerah mereka.

Berbeda dengan Papua, Maluku justeru tidak pernah terang-terangan menuntut formasi khusus bagi putera daerah selama seleksi CPNS dengan sistem seleksi kompetensi dasar (SKD) menggunakan sistem Computer Assisted Test (CAT). Mengapa demikian? Kegelisahan inilah yang hendak dijabarkan oleh saya, semoga dipahami oleh mereka para CPNS yang selalu mengeluh soal prioritas putera daerah.

Menolak Standarisasi

Akar persoalannya bukan pada anggapan bahwa semua orang punya hak yang sama untuk mengadu dan mengabdikan diri di seluruh wilayah kesatuan Republik Indonesia, tanpa pandang bulu, melainkan keadilan yang berkemajuan dengan tetap memperhatikan dinamika ekonomi dan politik, tentu secara komprehensif.

Anggapan serupa memaklumi standar Indeks Prestasi Komulatif (IPK) bagi putera-puteri Papua yang berbeda desimal di bawah standar rata-rata syarat CPNS, adalah sesuatu yang lumrah. Bukan berarti di luar itu, orang bisa sekenanya beranggapan bahwa Papua menolak untuk berkompetisi secara terbuka dengan putera-puteri Indonesia lainnya yang hendak mengabdi di Papua, tetapi upaya ini semata untuk menunjukkan Pemerintah Pusat memahami benar output (keluaran) perguruan tinggi yang ada di wilayah Papua. Bahkan lebih dari itu, putera-puteri Papua yang dikuliahkan dengan beasiswa ke sejumlah universitas negeri di luar Papua pun tidak lepas dari perlakuan khusus.

Papua berani untuk keluar dari stigma “semakin tinggi IPK, semakin tinggi pula kualitas lulusan”, kuncinya di situ, suatu cara pandang terbalik yang selama ini dipegang oleh kita pada umumnya. Padahal, di saat pelaksanaan Ujian Nasional (UN) beberapa tahun lalu sebelum akhirnya dianggap tidak otomatis siswa dinyatakan lulus, pemerintah daerah beramai-ramai melakukan kecurangan yang dikomandoi atau tidak oleh kepala daerah, atas nama gengsi. Sehingga bukan hal yang aneh bila pengumuman kelulusan, ada sekolah menengah atas (SMA) di daerah terpencil dapat lulus 100%, sementara SMA yang ada di perkotaan dengan layanan sarana dan prasarana memadai, malah tidak mencapai 70%.

Posisi Tawar Regulasi

Hal lain yang selalu membuat kita abai adalah kita selalu beranggapan bahwa Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang menjamin kelonggaran mendahulukan jatah bagi putera-puteri untuk mengikuti seleksi CPNS, akhirnya membuat kita makin pesimis dengan jumlah penduduk Maluku yang belum sampai angka 2,5 juta mana mungkin Otsus dapat kita rebut. Lantas, andaikan kita dapat perlakuan khusus sebagai Provinsi Kepulauan, apakah mungkin akan ada lagi formasi khusus putera-puteri Maluku? Jawabannya, tentu tidak.

Memang asumsi publik bisa saja pasti mengarah ke menekan laju separatisme, jadi wajarlah Papua dilayani dengan perlakuan semacam itu. Selain asumsi publik soal banyaknya sumber daya alam (SDA) yang selama ini dieksploitasi di wilayah Papua, memperkuat beragam asumsi jatah formasi CPNS putera-puteri Papua. Jika benar maka Aceh sudah pasti menuntut hal yang sama, tapi faktanya tidak demikian. Regulasi itu hanya memperkuat eksistensi politik di aras lokal, sebatas membolehkan dibentuknya partai lokal. Tidak sampai pada pengkhususan kriteria penerimaan putera-puteri Aceh yang hendak menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Lagi pula, karena kekhususan ini, formasi putera-puteri Papua hanya untuk mengabdi di wilayah Papua saja, tidak di wilayah lain di luar Papua.

Berdamai dengan Realitas bukan Pesimis

Kemajuan kualitas pendidikan di Papua semakin lebih baik dibanding Maluku, berdasarkan hasil Uji Komtensi Guru (UKG) Papua masih di atas Maluku. Di lingkup perguruan tinggi pun, Papua sudah punya jurusan dan fakultas yang menyediakan lulusan dengan akreditasi yang baik. Fakta ini bisa anda telusuri, supaya kita tidak terhindar dari anggapan lain soal mutu pendidikan yang menyebabkan Papua diberi perlakuan khusus dalam seleksi CPNS, sebab standar passing grade bagi lulusan terbaik alias cumlaude, putera-puteri Papua/Papua Barat, dan disabilitas justeru tidak melebihi skor yang ditetapkan bagi jalur umum.

Sehingga, alangkah naif menyalahkan pemerintah daerah (Pemda), baik Provinsi atau di tingkat Kabupaten/Kota dalam memperjuangkan jatah PNS. Apalagi hendak membuat pertanyaan konyol semacam “mengapa Pemda tidak berupaya mengangkat honorer menjadi PNS di tahun ini”. Beragam realitas tersebut seolah menampar kita untuk segera siuman, kita terlalu lama di dalam mimpi cara kepemimpinan pusat yang lama. Rezim ini menghendaki revolusi mental, mungkin kita terlanjur terbiasa menjadi tenaga honorer dengan pendekatan yang sifatnya sarat nepotisme dan kolusi, yang pada hujungnya mengharapkan diangkat menjadi PNS tanpa sejumlah tes. Padahal, saat ini untuk menjadi guru kontrak saja, setiap sarjana pendidikan harus pula mengikuti tes di tingkat daerah yang membutuhkan. Termasuk untuk menjadi dosen non PNS pun setiap kampus mengadakan tes yang ketat, kompetisi adalah suatu keniscayaan yang tak mungkin terhindarkan.

Jadi yang mampu kita lakukan saat ini sebagai pelamar dengan mengantongi ijazah Diploma ataupun Ijazah Sarjana adalah mengevaluasi diri sendiri setelah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, sembari memperbaiki karakteristik pribadi, terus melatih intelegensia umum, dan memperluas wawasan kebangsaan, agar kita dapat lulus SKD. Realitas kekinian harus dijalani dengan penuh optimis, bukan pesimis dan terus menyalahkan menggunakan cara pandang yang parsial.

*Penulis adalah pegiat sosial dan pengurus KAHMI Kabupaten Maluku Tenggara

 

Views: 2