Memaknai Fatayat NU untuk Perempuan Muslim Maluku
“Maluku diketahui sudah memiliki banyak piranti budaya yang melindungi dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum perempuan. Contohnya di Kepulauan Kei, ada ungkapan yang menyatakan membunuh hanya disebabkan dua hal, pertama batas tanah dan kedua saudara perempuan. Pendek kata, di beberapa wilayah Maluku, budaya mampu meredam isu kekerasan terhadap perempuan,” Daim Baco Rahawarin, SE (Ketua Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Maluku).**
Nahdlatul Ulama (NU). Sebuah organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, lekat bersama sejarahnya Indonesia, dan komitmen menjaga Indonesia, memiliki sejumlah badan otonom. Fatayat salah satu di antaranya. Fatayat (bahasa Arab yang berarti Pemudi) adalah organisasi perempuan muda dalam lingkungan NU. Berdiri pertama kali di Surabaya tanggal 24 April 1950 M bertepatan dengan 7 Rajab 1317 H, dengan pendirinya yakni Murtosijah Chamid dari Surabaya, Khuzaimah Mansur dari Gresik, dan Aminah Mansur dari Sidoarjo, yang dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai”.
Dalam buku Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia, Neng Dara Affiah (2017) mengenai proses kelahiran organisasi ini, sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang pendirinya, Khuzaimah Mansur, didorong oleh keinginan perempuan yang berafiliasi pada organisasi NU untuk memiliki wadah berkumpul seperti yang sudah dimiliki oleh organisasi-organisasi lain, misalnya Muhamadiyah yang telah memiliki Aisyiah, Masyumi yang memiliki organisasi Muslimat Masyumi, apalagi setelah NU menyatakan keluar dari organisasi Masyumi. Khuzaimah juga pernah aktif di Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), suatu organisasi sayap Masyumi.
Makna Kesetaraan
Meski mengalami pergulatan dan dinamika di awal kelahirannya dengan internal NU, Fatayat pun akhirnya berdiri. Kepengurusan pertama hanya mempunyai dua bagian, yaitu bagian Penerangan dan Bagian Pendidikan. Hingga hari ini telah berusia ke 68 Tahun, Fatayat telah berkembang signifikan dari bentuk strategi dan pengayaan cara pandang. Fatayat, melalui penuturan Maria Ulfiah dan Musdah Mulia, sempat mengalami kendala komunikatif dengan para Kiai yang menolak mengikuti pola pemikiran perempuan-perempuan Barat saat mereka berkeinginan melakukan pelatihan tentang Gender dalam Fatayat. Tetapi pengalaman Maria Ulfiah, melalui penjelasan yang dibantu oleh KH Hussein Mohammad dan Masdar F. Mas’udi akhirnya para Kiai di jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) waktu itu dapat menerima. Sementara, Musdah Mulia sendiri, oleh Gus Dur, yang pada saat itu menjabat sebagai ketua umum Tanfidziyah NU menyarankan agar istilah “gender” diganti dengan “latihan pemberdayaan perempuan” (Affiah, 2017).
Dari pengalaman tersebut, memberi gambaran tersendiri bahwa Fatayat sudah tentu melihat wacana kesetaraan gender tapi tidak mengusung gerakan feminisme seperti awal berkembang di Barat sekitar abad ke 18, yang mengusung persamaan hak dan tuntutan kebebasan agar para perempuan dapat menyamai para pria dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dll. Pola gerakan ini lalu mengalami paduan dengan berbagai aliran sehingga feminisme menjadi Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Post Modern, Feminisme Anarkis, dan Feminisme Marxis.
Memang benar juga yang diikhtiarkan para Kiai sebelumnya, di sini penting diingat adanya demarkasi yang jelas mengenai Fatayat sebagai bagian dari NU yang turut menjaga nilai-nilai tradisi keIslaman, di bagian lain tidak ketinggalan dengan makna kesetaraan gender yang juga dijaminkan oleh regulasi. Sebut saja kuota 30% perempuan untuk kontestasi parlemen, bahkan yang terkini, Tito Karnavian selaku Kapolri ingin agar Polwan mencapai 40% (nasional.tempo.co, edisi 25 April 2018).
Heri Junaidi dan Abdul Hadi dalam jurnal Muwazah berjudul Gender dan Feminisme dalam Islam (Vol 2, No 2, Desember 2010) menjelaskan Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, sedangkan Sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Sederhananya, dapat diberi misal, jabatan pemerintahan di Inggris dan di Belanda dipegang oleh Ratu, seorang perempuan. Sementara jabatan pemerintahan di Arab Saudi dan Brunei Darusalam dipegang oleh Sultan, seorang laki-laki. Bahkan di daerah Sumatera, salah satu kerajaan Islam pada masa lampau pernah dipimpin oleh seorang perempuan dengan gelar Sultanah dari tahun 1400 sampai 1428, sultanah Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu adalah penguasa ke-6 Kerajaan Samudera Pasai. Tulisan Suhaimi dan Hasymy menceritakan kisah tersebut dalam buku mereka berjudul Wanita Aceh dalam Pemerintahan dan Peperangan (tirto.co, edisi 10 Juni 2017).
Relevansi Gerakan
Affiah (2017) memaparkan tentang pengarusutamaan gender yang mewarnai program-program Fatayat NU berdasarkan profilnya, ditunjukan demi tercapainya lima agenda utama: (1) Meningkatkan akses pendidikan untuk perempuan; (2) Memberdayakan ekonomi perempuan; (3) meningkatkan hak-hak reproduksi perempuan; (4) Meningkatkan peran perempuan dalam dakwah; dan (5) Meningkatkan peran perempuan dalam politik dan advokasi. Fatayat NU sejauh ini sudah banyak mengangkat isu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) melalui “Program Pemberdayaan Perempuan” (1997-2000), “Hak-hak Kesehatan Reproduksi Perempuan” (1998-2003), dan berbagai program kerjasama lainnya dengan berbagai pihak sepanjang 2006-2008, tercatat di tahun 2017 kemarin di laman www.nu.or.id (senin, 13 November 2017) Fatayat NU juga mengangkat Stunting, yakni masalah kurang gizi kronis yang terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru akan tampak setelah setelah balita usia dua tahun.
Untuk kepentingan perempuan muslim Maluku, terdapat dua ranah mendasar yang hemat penulis penting didukung, yakni pendidikan dan politik. Bukan berarti ranah yang lain tidak penting, isu kesehatan perempuan dan kekerasan perempuan juga penting, hanya saja dua isu ini lebih banyak insidentil di Maluku. Maluku diketahui sudah memiliki banyak piranti budaya yang melindungi dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum perempuan. Contohnya di Kepulauan Kei, ada ungkapan yang menyatakan membunuh hanya disebabkan dua hal, pertama batas tanah dan kedua saudara perempuan. Pendek kata, di beberapa wilayah Maluku, budaya mampu meredam isu kekerasan terhadap perempuan. Sementara isu kesehatan, kasus serupa tumor dan kanker pada anak-anak dan perempuan masih ditemui, adanya gerakan-gerakan penggalangan dana untuk penderita penyakit ini beberapa kali pernah gencar melalui sosial media. Perlu data akurat untuk melihat perkembangan kasus kesehatan serupa, sehingga membicarakan kepentingan perempuan muslim Maluku tidak latah pada masalah kasuistik belaka.
Bagaimana dengan ekonomi kreatif? Di sini Fatayat NU tentu saja mampu mensinergikan beragam program kerja dengan berbagai instansi baik pemerintah maupun swasta. Ruang tersebut terbuka luas bagi kader Fatayat NU untuk memberi kontribusi pikir dan tindakan guna memajukan tingkat perekonomian perempuan muslim Maluku, meskipun dari skala rumahan. Mendorong branding terhadap berbagai produk panganan/cemilan lokal dengan membantu mewujudkan dibukanya akses pasar adalah salah satu dari sekian banyak hal yang dapat dilakukan melalui Fatayat NU di aras lokal, maka publik perlu melihat ini sebagai peluang agar mengambil jarak cukup dekat dengan Fatayat NU.
Bahkan bukan perempuan muslim Maluku saja, perempuan dari Agama dan Suku apapun yang ada di Maluku boleh bersinergi dengan berbagai isu yang dianggap penting. Masalah perempuan adalah masalah kemanusiaan, maka Fatayat NU Maluku seyakin penulis dapat saling merangkul untuk kepentingan perempuan Maluku tanpa mempersoalkan perbedaan lainnya, apalagi Maluku dan Ambon khususnya dikenal sebagai laboratorium perdamaian dunia. Rekam jejak Fatayat NU dalam melihat toleransi dan nilai-nilai kemanusiaan universal tergambar jelas, salah satunya pernah menyerahkan santunan kepada anak yatim dan piatu di Panti Asuhan Santo Maria dan Santo Yosep Ahuru yang bernaung dibawah Yayasan Rinamakana serta Pondok Pesantren Al-Ansor Air Besar Ambon (www.antaranews.com, edisi 28 Januari 2017).
Politik dan Pendidikan
Melihat profil Fatayat NU di atas dan diselenggarakannya Konfrensi Besar (Konbes) Fatayat NU di Ambon dengan kata kunci sebagai pembuka temanya adalah Rejuvinasi (meremajakan), paling tidak dapat menjelaskan ke publik secara baik dan terukur tentang ragam pola peremajaan gerakan Fatayat untuk perempuan muslim di Maluku melalui dua pertanyaan utama. Pertama, bagaimana relevansi Fatayat NU dengan kesadaran pendidikan perempuan muslim Maluku sesuai karakteristik kearifan lokalnya? Guna menjawab soalan ini, butuh kerja ekstra yang tersistematis mulai dari tingkat yang lebih rendah, tidak sekedar menjelaskan bahwa Fatayat NU Maluku sudah punya Sumber Daya Manusia (SDM) mumpuni dan bisa dijadikan acuan. Sebut saja Fatma Alhamid, sebagai Pemudi asal Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) bekerja sebagai Dosen di Universitas Pattimura Ambon, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada program studi Pendidikan Kimia.
Pada momentum Konbes ini, agar pertautan budaya tidak lekas selesai dengan lomba fotografi yang bertemakan Perempuan Berdaya di Timur Indonesia, maka Foto-foto aktivitas perempuan muslim Maluku misalnya yang melakukan pekerjaan menjemur Cengkih dan Pala jangan membekas hanya sebagai suatu pajangan kenangan Konbes Ambon. Gerakan perlu benar-benar melihat Timur yang memang mempunyai daya besar dalam menjaga nilai tradisi Islam seraya mencapai lima agenda utama Fatayat NU yang dimaksud.
Sehingga hasil Konbes kali ini perlu juga mendorong didirikannya Sekolah Menengah Atas (SMA) NU di Maluku, yang mengembangkan pendidikan berbasis keterampilan dengan mempertajam kurikulum muatan lokal (lihat SMA NU 1 Gresik). Rasional dari pemilihan tingkat SMA yaitu dapat memprediksi optimisme memberdayakan ekonomi perempuan muslim Maluku sekaligus membangun kesadaran peran dakwah perempuan sejak dini dengan menitikberatkan pada nilai-nilai Islam Tradisonal di Maluku. Orientasi jangka panjang harus diarahkan dengan melihat potensi kedaerahan di mana SMA NU akan didirkan, misalnya untuk Pariwisata di Kabupaten Buru, perlu dibukanya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) NU Pariwisata atau tingkat sekolah yang sederajat, misalnya Madrasah Aliyah (MA) NU. Latihkan keterampilan berbahasa Inggris secara kontinue, dan banyak melakukan desain pembelajaran dalam bentuk karya wisata. Dua puluh tahun (20) tahun kedepan dari sekarang, akan diperoleh hasil yang menjanjikan ke publik.
Kedua, bagaimana relevansi Fatayat NU dengan politik perempuan muslim Maluku sesuai karakteristik kearifan lokalnya? Munculnya Habiba Pelu sebagai Legislator di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Maluku adalah cerminan pelopor untuk menjawab soalan tersebut dalam bentuk praktik. Familyname Pelu yang mencirikan budaya patriarki dalam lingkup budaya Islam Maluku, tentu saja ada pada ruang arif tersendiri yang tidak lantas bercampur tanpa batas yang jelas. Sosok Habiba Pelu sendiri mampu bercerita banyak hal tentang kronika panjang “Pelu” antara kejayaan Kerajaan Islam Tanah Hitu dan emansipatoris Habiba sebagai seorang perempuan di ranah politik dewasa ini. Antara kodrat Habiba sebagai Ibu dan Pelu sebagai garis patrinial muslim di Maluku, menjadi Habiba Pelu dan kita kenal sebagai ketua pengurus wilayah Fatayat NU Maluku yang visioner.
Sejalan dengan maksud Bung Karno (1963) dalam buku beliau yang berjudul “Sarinah”, telah banyak memberikan motivasi soal menjiwai kodrat sebagai perempuan tapi tetap memiliki peluang yang sama untuk berjuang bersama kaum laki-laki dalam berbagai ruang, termasuk politik. Memang secara signifikan, kesadaran perempuan muslim Maluku untuk tampil di ruang kontestasi politik melalui keaktifan di partai ataupun perseorangan berjalan cukup baik. Namun menjamin politisi perempuan muslim Maluku yang sadar akan tradisi Islam saat berproses di gerakan selain Fatayat NU, sangat kecil kemungkinanya. Jadi, ada nilai lebih tersendiri ketika perempuan muslim Maluku memilih Fatayat NU sebagai ikhtiar perjuangan mereka yang secara turun-temurun kental dengan nilai tradisi Islam Maluku. Fatayat NU menjamin paduan eksistensi budaya Islam Maluku dan daya saing perempuan muslim Maluku untuk lebih progresif membangun Indonesia dari Maluku.** (Daim Baco Rahawarin, SE)