Cengkepala

Menakar Implementasi Kota Layak Anak di Kota Ambon: Antara Regulasi dan Realitas

Ahmad Rosandi Sakir (Dosen Ilmu Administrasi Negara FISIP – UNPATTI / Pengamat Kebijakan Publik)

Pemerintah Kota Ambon pada tahun 2019 menetapkan Peraturan Daerah Nomor 1 tentang Penyelenggaraan Kota Layak Anak (KLA). Kebijakan ini lahir dari kesadaran bahwa anak adalah aset masa depan bangsa yang harus dijamin hak-haknya, mulai dari hak hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi, hingga mendapatkan perlindungan dari kekerasan, diskriminasi, maupun eksploitasi. Urgensinya jelas: sebuah kota tidak hanya dituntut untuk maju secara fisik, tetapi juga harus menghadirkan ruang yang aman, ramah, dan kondusif bagi tumbuh kembang anak.

Dalam praktiknya, implementasi kebijakan KLA diatur melalui pembentukan Gugus Tugas Kota Layak Anak, Forum Anak, serta penyediaan infrastruktur ramah anak di berbagai aspek, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga ruang publik. Perda ini menekankan kolaborasi lintas sektor, yakni pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan media, dalam mengawal pemenuhan hak anak. Namun, pertanyaannya, sejauh mana implementasi kebijakan ini berjalan di Kota Ambon?

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa idealisme KLA masih jauh dari harapan. Hingga kini, banyak anak masih hidup di jalanan, khususnya di pusat-pusat keramaian kota seperti Pelabuhan Yos Sudarso, Jalan AY Patty, sekitar Maluku City Mall, kawasan Jembatan Merah Putih, hingga berbagai sudut kota lainnya. Kehadiran mereka di jalanan tidak hanya mencerminkan lemahnya perlindungan sosial, tetapi juga menimbulkan persoalan turunan yang lebih kompleks.

Pertama, aspek keamanan dan ketertiban kota menjadi rawan. Anak-anak jalanan sering kali berhadapan dengan risiko eksploitasi, tindak kriminal, bahkan kekerasan. Situasi ini bukan hanya membahayakan mereka, tetapi juga dapat menimbulkan keresahan bagi masyarakat umum.

Kedua, estetika kota terganggu. Ambon sebagai kota jasa dan pariwisata seharusnya menampilkan wajah yang ramah dan tertata. Namun, keberadaan anak-anak jalanan di ruang publik menimbulkan kesan kontras dengan visi pembangunan kota yang modern dan humanis.

Ketiga, dari sisi kebijakan, strategi implementasi KLA di Kota Ambon masih belum terlalu jelas. Meski payung hukum sudah tersedia, langkah-langkah konkret di tingkat program dan aksi nyata masih berjalan parsial. Gugus Tugas KLA dan Forum Anak belum sepenuhnya berfungsi sebagai motor penggerak perubahan, sementara fasilitas ramah anak masih terbatas dan kurang menyentuh kebutuhan riil anak-anak yang rentan.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa pemerintah kota harus lebih serius dalam menjalankan amanat Perda. Keseriusan tidak hanya diukur dari adanya regulasi, tetapi dari konsistensi anggaran, keberlanjutan program, dan keberanian mengambil langkah strategis, termasuk penanganan anak jalanan secara komprehensif.

Dalam perspektif kebijakan publik, mewujudkan Kota Layak Anak di Ambon tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja. Dibutuhkan collaborative governance, yakni kerja bersama antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO), dan media. Pemerintah perlu menjadi aktor utama dalam perumusan kebijakan, sementara masyarakat dan keluarga menjadi garda terdepan pengasuhan. Dunia usaha dapat berkontribusi melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), dan NGO bisa menjadi mitra kritis dalam advokasi maupun pendampingan.

Ambon memiliki modal sosial dan budaya yang kuat, namun modal tersebut harus diterjemahkan dalam kerja nyata yang terukur. Jika kolaborasi lintas sektor dapat dioptimalkan, maka cita-cita menjadikan Ambon sebagai Kota Layak Anak bukanlah hal yang utopis. Sebaliknya, hal itu akan menjadi tonggak penting bagi pembangunan kota yang benar-benar menempatkan anak sebagai pusat peradaban dan masa depan.

Views: 42